Home / Uncategorized / Mendesain Untuk Masa Depan, Membangun Anak Berpikir Global, Berperilaku Lokal, Manfaat Dunia Akhirat

Mendesain Untuk Masa Depan, Membangun Anak Berpikir Global, Berperilaku Lokal, Manfaat Dunia Akhirat

sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
Catatan
parenting Bunda Farzan di Sekolah Fajar Hidayah Kota Wisata
Dalam
buku “Do Good Desain”, David Berman, seorang desainer asal Kanada, menekankan
bahwa setiap desainer wajib berbuat kebaikan dalam desainnya. Hal ini selalu
saya kutip, baik dalam kelas Etika Profesi, maupun kelas lain. Saya pikir,
berbuat kebaikan bukan hanya tugas desainer, tetapi tugas semua ornag, yang
mulai disemai saat ayah dan bunda dipersatukan dalam pernikahan, kemudian terus
dipupuk dalam perkembangan kehidupan, hasilnya kemudian bisa dipanen dalam bentuk
generasi kokoh yang berpikir global, berperilaku lokal dan memberi manfaat bagi
dunia akhirat.
Tahun
lalu, saat Farzan mau masuk SD, kami (bunda dan ayah) pusing tujuh kelliling
dalam memilih sekolah. Maunya, semua kebutuhan anak terpenuhi (baik akademis
maupun non akademis). Dariberbagai macam sekolah yang ada di sekitaran
Cileungsi Cibubur. Umumnya sekolah-sekolah memiliki qualifikasi yang sama: anak
harus minimal usia 6 tahun, bisa baca tulis, mampu mengurus dirinya sendiri (ke
toilet, ganti baju, dll), lolos ujian selesksi masuk (mencakup tes potensial
akademik), membayar uang bangunan/SPP/dll. Dari sekian syarat, Farzan belum
lolos kualifikasi. Karena ia belum bisa baca, dan baru bisa mengenal huruf.
Saya mendengar, beberapa teman yang menyarankan agar anak saya les baca dulu
agar siap masuk SD. Di dalam lubuk hati terdalam, saya bertanya, sebetulnya apa
sih esensi jadi “Anak Kelas 1 SD”?  —
sebegitu pentingkah bisa baca di kelas 1 SD? Memangnya bentuk soalnya seperti
apa?  Jadi, setelah ikut tes masuk,
dipastikan Farzan gagal masuk, dan kami harus mencari sekolah lagi.
Kebetulan,
sepupu Farzan, Aaira, juga akan masuk kelas yang sama. Aaira merupakan “Sepsis
Survivor” (anak penderita sepsis, yang efeknya masih sampai saat ini masih
kambuhan). Jika kambuh, Aaira akan kejang, mengantuk, dan dalam hal menerima
pelajaran ia butuh waktu lebih lama untuk memahami persoalan dibanding anak
normal lainnya. Aaira harus minum obat terus menerus untuk mengurangi kejangnya,
dan rendah kontrol motoriknya (sering tersandung, jika memegang sesuatu mudah
jatuh/tumpah, menutup pintu amat keras, dll). Di luar itu, Aaira nampak normal,
bahkan cenderung mandiri. Maka, untuk mengakomodir kebutuhan Aaira, kami juga
mencari sekolah yang bisa menerima keadaan ini. Dan tidak  banyak sekolah yang mau menerima kondisi
Aaira. Dari hasil survey saya, sekolah swasta yang inklusi di wilayah ini hanya
ada dua, yaitu Fajar Hidayah dan Sekolah Alam Cikeas. Namun, karena alasan
biaya, pilihan kami jatuh pada SDIT Fajar Hidayah di Kota Wisata Cibubur.
Sekolah Yang Memberi Ruang
Awal
sekolah, Farzan mengalami masa yang cukup sulit. Bangun pagi, sekitar pukul 05:30,
langsung mandi, sarapan, dan jemputan datang sekitar pukul 06:15. Drama sering
terjadi di masa-masa ini, apalagi jam sekolah yang terbilang lama, yaitu pulang
pukul 14:00. Farzan sering merasa kecapean dan bosan. Motivasi untuk sekolah
turun naik, tapi saat sharing dengan teman-teman dengan anak baru masuk SD, hal
ini juga mereka alami. Butuh waktu sekitar 2-3 bulan, agar bisa bnagun tidur
dengan drama. Kami berusaha, agar Farzan enjoy sekolah, setiap malam kami
libatkan, khususnya dalam hal menyusun menu bekal ke sekolah, kegiatan habis
pulang sekolah dan saat belajar. Karena saya juga bekerja di kantor, jadi harus
esktra bagi waktu dan energi menangani hal ini. Alhamdulillah, masa-masa susah
bangun tidur untuk sekolah teratasi.

sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
sumber foto: Bu Haris dan Pak Aziz
Di
sekolah ini tidak ada PR, tidak ada ranking dalam raport dan tidak ada
kewajiban bisa baca tulis saat masuk sekolah. Dalam wkatu kurang dari 3 bulan,
farzan bisa baca dan menulis, plus hapalan al qur’an.  Surah pertama yang ia hapal adalah Al
Bayyinah. Lelaki bertubuh mungil ini bahkan sharing mengenai kandungan isi
surahnya. Padahal, untuk ngaji di TPA saja, ia tidak berminat. Saya memang
tidak mau maksa, karena saya percaya, setiap anak harus menemukan “keasikan”
sendiri dalam belajar. Mungkin karena suasana belajar yang “memberi” ruang pada
anak, dan tidak merasa terpaksa, anak-anak jadi cepat hapal. Hal ini juga
terjadi pada Aaira. Biasanya untuk paham satu huruf, Aiira butuh waktu 1 bulan.
Dalam waktu 5 bulan, ia sudah bisa semua huruf alphabet dan kini dalam proses
menyambungnya (membaca).
Di
kelas Farzan sering cerita tentang teman-temannya. Ada Fatih dan Naufal yang
pintar dan merupakan kapten kelas, ada Rayyan teman yang wajahnya imut dan
menurut Farzan asik buat dipeluk, Ada Rizziq teman yang super aktif dan kuat
fisiknya, ada fathir yang masih belajar mengendalikan emosi, ada Abyan, Hibban,
Adit,  Gabriel dan lain-lain. Salah satu
teman yang memotivasi farzan sekolah adalah Arkana. Awal sekolah, kedua anak
ini bahu membahu dalam urusan kebelang. “Aku dibantu Arkana, kalau mau cebok,
dia yang pegangin semprotan airnya, nanti kita gentian.”
Urusan
belajar, teman-teman yang lebih  paham tidak
ragu-ragu membantu teman yang kurang paham. Farzan banyak termotivasi oleh para
kapten kelas dan teman-teman yang lain. Di rumah, ia jadi suka belajar, bahkan
saat waktunya tidur ia masih ingin belajar. Di sekolah ini ada makan siang
bersama. Kebetulan, Farzan masih lemah dalam urusan makan sendiri, melalui
makan siang bersama yang disediakan sekolah, ia juga belajar bersama
teman-teman.
Sebagai
pengganti PR, sekolah memberikan “poroject” kepada siswa yang harus dikerjakan
bersama ortu di rumah. Tujuannya, adalah melibatkan orang dalam proses belajar
anak. Saya sangat takjub dengan ortu teman-teman sekelas farzan, yang sangat
serius dan bekerja keras dalam urusan ini. Padahal saya yakin, waktu dan energi
mereka juga harus terbagi dengan urusan lain.
Di
sekolah ini juga banyak kegiatan, ada festival negara-negara dan budaya
Indonesia, perayaan hari besar Islam, kegiatan goo green dan outdoor dan lain
sebagainya. Siswa belajar Bahasa Inggris dan Arab, serta kegiatan life skill
lain, seperti membuat minuman, the, bermain play dough dan lainnya. Kegiatan
ini akan berlangsung hingga mereka kelas 2. Setelah itu, kegiatan akademik baru
mendominasi. Program seperti ini saya pikir cukup memberi ruang bagi anak-anak
di masa peralihan mereka (dari TK ke SD), selain itu, tidak semua anak kuat
dalam hal akademik, anak-anak memiliki potensi masing-masing, ada yang berbakat
di bidang seni, sains, olah raga, bahasa dan sebagainya. Ruang-ruang ini, perlu
digali dan dimaksimalkan, agar anak-anak menemukan dimana seharusnya ia lebih
memfokuskan kelebihannya.
Peran Guru dan Keterlibatan Orang tua
Keberhasilan
anak-anak melewati masa peralihan ini, sangat erat kaitannya dengan peran guru
dan keterlibatan orang tua. Dalam satu kelas (25 siswa) ada dua guru yang
bertugas. Terima kasih untuk Bu Haris dan pak Aziz yang sudah sangat sabar dan
komunikatif dalam berinteraksi dengan siswa maupun orang tua. Rasanya sabar,
energi dan waktu saja tidak cukup untuk menjalani tugas ini, perlu motivasi
lebih agar proses belajar mengajar berlangsung nyaman dan terkendali.
Orang
tua yang terlibat dalam kegiatan  di
sekolah sangat aktif. Salah satunya dalam kegiatan Home Visit dan kunjungan
sekolah, saya juga ingin mengucapkan terima kasih pada orang tua yang sudah
berpartisipasi dalam kegiatan Home Visit,
farzan jadi tumbuh rasa percaya dirinya dan merasa nyaman berteman. Perkara
menjadi tuan rumah, bukan hal yang mudah, namun kesiapan dan kerja keras para
orang tua siswa ini selalu membuat haru, sehingga setiap kunjungan farzan
selalu punya cerita yang menakjubkan.
Saya
percaya, anak-anak yang berasal dari keluarga yang punya kepedulian tinggi,
akan melahirkan pribadi yang tinggi pula kepeduliannya. Suatu ketika saat
menjemput Farzan ketika ada kegiatan imunisasi, seorang siswa kelas 5 SD
menghampiri saya. Saat itu, saya datang dengan menggendong bayi berusia 3 bulan
(adik farzan). Anak laki-laki bertubuh tinggi dan berkaca mata menghampiri
saya. “Maaf ibu, saya ini bukan culik, atau apa. Saya hanya mau tau, bayinya
namanya siapa?” mendengar itu, rasanya saya mau ketawa keras, tapi saya tahan.
Saya harus mennghargai kejujuran kakak yang wajahnya manis ini. “Oh, bayi ini
namanya Haqqi, usianya 3 bulan.” Baru setelah ia mendengar intonasi suara saya,
anak itu cerita macam-macam tentang dirinya dan keluarganya, bagaimana ia sebetulnya
suka anak bayi, tapi adiknya kini sudah TK, ia mulai menggoda Haqqi. Dan tidak
berapa lama, teman-temannya yang lain ikut mengerubungi saya, menggoda Haqqi
juga. Mereka manis-manis, ramah dan sangat sopan. Saya pikir inilah buat
pendidikan,
Dengarkan Pelanggan, Maka Anda Akan Menjadi
Perusahaan Yang Dihargai
Menjadi
sebuah institusi pendidikan memiliki konsekwensi yang berat. Setidaknya ilmu
yang dibagikan kepada para siswa, harus lebih dulu diterapkan sehingga
menjadi  “pesan sakti” yang membekas di
dalam benak para siswa dan juga orang-orang yang terlibat di dalamnya.  Dalam pandangan David Berman, salah satu cara
agar sebuah perusahaan bisa berkelanjutan, dihargai, menguntungkan dan selalu
manfaat. Salah satu caranya adalah mendengarkan pelanggan dan menindaklanjuti
saran/kritiknya. Pelanggan dalam institusi pendidikan antara lain adalah pegawai,
guru, orangtua murid dan masyarakat di sekitarnya. Tidak perlu banyak promosi
di media massa untuk menarik orang lain menggunakan jasa dan mengamini prestasi
yang sudah diraih. Cukup “bukti nyata” dalam bentuk kepercayaan dan kepuasan
dari berbagai elemen yang terlibat di dalamnya. Niscaya, efek bola salju akan
menggelinding sendiri menuju harapan yang diinginkan.
Tentu
tidak mudah mengelola institusi menjadi sangat mandiri dan memiliki reputasi
internasional. Namun, dengan kerjasama yang kuat, kepedulian serta orientasi ke
depan (dunia akhirat), cita-cita melahirkan generasi yang kokoh bisa terwujud.
Apalagi di tengah persaingan yang pesat, menjamurnya institusi pendidikan yang
menawarkan bidang akademis yang tinggi, mampu bersaing dalam dunia
internasional dan segudang fasilitas ekstrakulikuler, tantangan ini semakin
berat. Dengan mempererat lingkung internal (guru dan karyawan) meningkatkan
kualitas serta peduli pada lingkung eksternal (orang tua murid, masyarakat
sekitar, pemerintah, dsb) sebuah organisasi bisa bertahan lama di tengah iklim
yang penuh perubahan ini.
Dengarkan
pelanggan, maka Anda akan menjadi perusahaan yang dihargai, begitulah apa yang
disampaikan oleh David Berman, sebagai tips membangun perusahaan yang
berkelanjutan dan mengedepankan kualitas. Mudah-mudahan, Farzan bisa komit sekolah
bersama teman-teman yang lain. Dan pada waktunya mereka akan lulus bersama-sama
menjadi generasi Indonesia yang kokoh, mandiri dan berorientasi dunia akhirat.
Terima kasih atas bimbingan guru-guru, Bu Haris, Pak Aziz, Pak Mukhlis, Pak Nunu, dan para guru Fajar Hidayah serta teman-teman
dan para orang tua murid.
Mama

About admin

Check Also

Buntut dari Kasus “Burning Sun” dua Artis FNC Mengundurkan Diri

sumber: koreaboo.com, stasiun TV SBS Kasus pelecehan yang terjadi di sebuah Klub malam “Burning Sun” …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

47 − 40 =